Jambi, 20 Juli 2025 — Perjuangan agraria di Indonesia tak bisa dilepaskan dari peran strategis perempuan petani. Hal ini mengemuka dalam Kongres V Serikat Petani Indonesia (SPI) yang digelar di Jambi, yang menyoroti bagaimana perempuan menjadi pihak paling terdampak, namun juga paling aktif dalam mempertahankan kedaulatan pangan dan hak atas tanah.
Salah satu suara kuat datang dari Zubaidah, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) SPI Sumatra Utara, yang menegaskan bahwa perempuan petani bukan hanya pelaku produksi pertanian, tetapi juga penentu utama dalam menjaga keberlangsungan pangan keluarga dan komunitas.
“Perempuan selalu menjadi pihak pertama yang menjamin pangan sehat bagi keluarga. Makanan yang mereka siapkan bukan hanya soal gizi, tapi juga hasil dari pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun,” ujarnya.
Lebih dari itu, perempuan di sektor pertanian juga memegang peranan penting dalam manajemen keuangan keluarga dan berperan sebagai penggerak moral dalam rumah tangga tani. Namun ironisnya, kata Zubaidah, dalam berbagai konflik agraria, perempuan sering kali menjadi korban pertama dari praktik eksklusi dan penguasaan lahan oleh korporasi serta pemodal besar.
“Perempuan adalah objek pertama dari eksploitasi dalam konflik agraria. Ketika lahan dikuasai oleh korporasi, mereka kehilangan ruang hidup, kehilangan akses pangan, dan kehilangan peran sosial. Oleh karena itu, mereka harus mengorganisir diri, bukan sekadar bertahan, tapi berjuang bersama,” tegasnya.
Kongres ini menjadi ruang refleksi dan konsolidasi bagi SPI dan seluruh anggotanya, termasuk perwakilan dari SPI Nusa Tenggara Barat, Sofyan Koplut, yang menyoroti pentingnya memperkuat basis gerakan di tingkat akar rumput.
Menurut Sofyan, dalam situasi krisis pangan dan perubahan iklim, ketahanan pangan nasional hanya bisa dicapai jika petani—terutama perempuan—dilibatkan secara penuh dan dijamin haknya atas tanah, air, dan benih.
“Tidak ada kedaulatan pangan tanpa keadilan agraria. Dan tidak ada keadilan agraria jika perempuan petani terus dimarginalkan,” tegasnya.
Kongres V SPI di Jambi menandai upaya serius organisasi dalam merespons persoalan struktural yang dihadapi petani, khususnya perempuan, yang selama ini berada di barisan paling depan dalam menjaga kedaulatan pangan namun kerap tak diakui perannya. (LP)