Single News

Rekomendasi Bukan Solusi, Saatnya Sumbawa Punya Saham Tambang

Oleh: Muhazi Ramadhan
(Ketua Lakpesdam PCNU Sumbawa)

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPRD Sumbawa, pemerintah daerah, dan pihak perusahaan tambang baru-baru ini menghasilkan sejumlah rekomendasi. Mulai dari pelatihan tenaga kerja, CSR di sektor produktif, pembangunan akses jalan tambang, hingga percepatan konstruksi blok Elang Dodo dan Rinti. Semua poin ini, jika dilihat sekilas, tampak positif dan pro-rakyat.

Namun, mari kita bertanya lebih kritis: apakah rekomendasi tersebut benar-benar sebuah solusi? Ataukah hanya pengulangan dari janji-janji lama yang sudah sering kita dengar, tapi minim dampak nyata?

Rekomendasi yang Berputar di Permukaan

Rekomendasi DPRD seakan hanya menyentuh lapisan luar persoalan. Tenaga kerja lokal? Itu kewajiban dasar perusahaan. CSR? Itu sudah ada dalam aturan dan justru sering dipakai perusahaan sebagai pencitraan. Beasiswa? Penting, tapi nilainya tidak sebanding dengan kekayaan alam yang dikuras. Jalan tambang? Itu bukan “bantuan”, melainkan kebutuhan perusahaan sendiri agar produksinya lancar.

Pertanyaannya, apakah cukup Sumbawa hanya puas dengan semua itu?
Bukankah dari dulu skema yang sama sudah dijalankan, namun Sumbawa tetap saja menghadapi masalah klasik: rendahnya pendapatan asli daerah, ketimpangan sosial, dan kerusakan lingkungan yang makin parah?

Akar Masalah yang Terabaikan

Ada dua hal mendasar yang luput dari rekomendasi tersebut:

1. Kerusakan Lingkungan
Tambang meninggalkan jejak panjang: hilangnya hutan, tercemarnya sungai, rusaknya lahan pertanian, hingga menurunnya kualitas kesehatan masyarakat. Semua ini adalah “biaya sosial-ekologis” yang jauh lebih mahal dari nilai CSR atau beasiswa yang ditawarkan perusahaan. Anehnya, dalam rekomendasi DPRD, nyaris tidak ada satu kalimat pun yang menegaskan kewajiban perusahaan melakukan reklamasi, pemulihan lingkungan, atau pengawasan independen yang melibatkan masyarakat.

2. Daya Tawar Daerah yang Lemah
Selama ini, Sumbawa hanya menerima dana bagi hasil dan sedikit kue dari pajak. Padahal nilai mineral yang diambil mencapai triliunan rupiah. Ketika perusahaan meraup keuntungan besar, Sumbawa justru harus berjuang dengan APBD yang terbatas. Tanpa kepemilikan langsung, Sumbawa akan terus berada pada posisi lemah, hanya berharap pada janji-janji perusahaan.

Saham: Dari Penonton Menjadi Pemilik

Inilah saatnya Sumbawa tidak lagi hanya menjadi penonton di rumah sendiri. Kabupaten ini harus berani memperjuangkan saham (participating interest) atas aktivitas tambang di wilayahnya.

Dengan saham, ada tiga keuntungan strategis:

Pendapatan Berkelanjutan. Daerah akan mendapatkan dividen rutin, tidak lagi bergantung pada CSR atau janji sesaat.

Kekuatan Negosiasi. Pemda hadir bukan sekadar mitra administratif, tetapi mitra bisnis sejajar. Perusahaan tidak bisa lagi mengabaikan kepentingan daerah.

Keadilan Sosial. Dividen saham bisa diarahkan langsung untuk kebutuhan riil masyarakat: pendidikan gratis, beasiswa mahasiswa Sumbawa, rumah sakit modern, penguatan UMKM, hingga investasi sektor pertanian dan perikanan.


Langkah ini juga selaras dengan semangat konstitusi: bahwa kekayaan alam harus dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Belajar dari Saham NTB di Newmont

Kita tidak perlu memulai dari nol. Provinsi NTB pernah memiliki saham di PT Newmont Nusa Tenggara (sekarang Amman Mineral). Saat itu, kepemilikan saham dilakukan melalui PT Daerah Maju Bersaing (DMB), perusahaan patungan antara Pemprov NTB, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB), dan Kabupaten Sumbawa. DMB kemudian membentuk joint venture dengan PT Multi Daerah Bersaing (MDB) untuk menguasai 24% saham Newmont.

Dari komposisi tersebut, NTB mendapatkan porsi 40%, Kabupaten Sumbawa Barat 40%, dan Kabupaten Sumbawa 20%. Ini menjadi bukti bahwa kepemilikan saham daerah dalam industri tambang bukan hal mustahil, melainkan bisa diwujudkan jika ada kemauan politik yang kuat.

Sayangnya, dalam perkembangannya, mekanisme tata kelola dan transparansi menjadi masalah. Bahkan, tiga anggota DPRD Sumbawa — Lalu Budi Suryata, Fitrah Rino, dan Salamuddin Maula — pernah menggugat melalui jalur class action terkait ketidakjelasan manfaat saham tersebut bagi masyarakat. Fakta ini seharusnya menjadi pelajaran penting: bahwa kepemilikan saham memang strategis, tetapi harus disertai tata kelola yang profesional, transparan, dan berpihak pada rakyat, bukan hanya elit politik.

Transparansi dan Profesionalisme: Syarat Utama

Tentu, kepemilikan saham tidak boleh hanya menjadi sumber rente bagi elit politik. Pemerintah daerah harus membentuk BUMD profesional dan transparan, mengelola saham dengan standar tata kelola yang baik. Setiap rupiah keuntungan harus dicatat dan dialokasikan secara akuntabel, sehingga rakyat benar-benar merasakan manfaatnya.

Menimbang Masa Depan Sumbawa

Kini pilihan ada di tangan kita: apakah Sumbawa hanya ingin dikenang sebagai daerah yang meninggalkan lubang-lubang tambang dan kerusakan lingkungan untuk generasi mendatang? Ataukah ingin dikenang sebagai daerah yang mampu mengubah kekayaan alamnya menjadi kesejahteraan nyata bagi rakyat?

Rekomendasi DPRD yang dihasilkan saat ini bukanlah solusi. Itu hanya tambalan sementara. Solusi sejati adalah memastikan Sumbawa memiliki saham dalam setiap aktivitas tambang, sehingga masyarakat tidak hanya menerima janji, tetapi juga kepemilikan nyata atas kekayaannya sendiri.

Karena pada akhirnya, kemajuan Sumbawa bukan ditentukan oleh seberapa banyak tambang menggali, tetapi seberapa adil kekayaan itu kembali kepada rakyatnya.