Single News

Benny Tanaya: “Sumbawa Harus Bangkit, Jangan Ulangi Luka KSB”

Sumbawa Besar – Tokoh pemuda Sumbawa Barat, Benny Tanaya, melontarkan pernyataan tajam dan menggugah kesadaran publik terkait proyek pertambangan yang kini mulai merambah wilayah Sumbawa.

Statement ini dia sampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Mendorong Tata Kelola Tambang yang Berkeadilan dan Berkelanjutan untuk Kemandirian Ekonomi Masyarakat” yang digagas Lembaga Sumbawa Menggugat, di aula kantor Desa Jorok, Unter Iwes, Sumbawa, 2 November 2025.

Ia menegaskan, pengalaman panjang Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) harus menjadi pelajaran berharga bahwa tambang tidak pernah sepenuhnya menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal.

“Sumbawa dan Sumbawa Barat adalah satu tanah leluhur yang tidak bisa dipisahkan, walau secara administrasi berbeda. Tapi lihatlah KSB—jadikan sebagai model bahwa tidak ada tambang yang benar-benar menyejahterakan rakyat,” tegas Benny dalam sebuah forum diskusi terbuka.

Menurutnya, sejak tahun 1985 ketika PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) mulai beroperasi hingga kini di bawah kendali AMNT (PT Amman Mineral Nusa Tenggara), masyarakat hanya menjadi penonton di tanah sendiri. “Kami melihat nyata, dari waktu ke waktu—tambang hanya menyisakan debu, bukan kemakmuran. Maka saya ingin bertanya: Sumbawa dapat apa?” ujarnya lantang.

Benny mengurai sejumlah persoalan yang menurutnya patut menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Sumbawa. Salah satunya, rencana eksploitasi AMNT di Dodo dan Rinti yang disebut memiliki cadangan mineral jauh lebih besar dari Batu Hijau.

“Kalau mau menerima, terima secara penuh. Tapi kalau mau menolak, tolaklah secara tegas. Jangan setengah-setengah,” seru Benny.

Ia juga menyoroti lemahnya posisi Pemda Sumbawa dalam menghadapi raksasa tambang tersebut. Hingga kini, kata dia, pemerintah daerah bahkan tidak memegang site plan atau master plan eksploitasi Dodo Rinti, padahal titik-titik kritis sudah ditetapkan.

“Saya kecewa membaca rekomendasi Komisi II DPRD Sumbawa—tak ada kekuatan untuk menekan AMNT. Pemerintah seolah tidak punya taring,” kritiknya.

Lebih jauh, Benny mengungkap bahwa proyek besar seperti pembangunan conveyor belt sepanjang 64 kilometer dari Bor mil ke Dodo Rinti senilai Rp 24 triliun, sudah mulai berjalan tanpa keterlibatan lokal yang berarti.

“Empat perusahaan raksasa asal China yang kerjakan proyek itu. Tak satu pun tenaga kerja dari Indonesia. Semuanya dari China,” bebernya.

Kondisi ini, lanjut Benny, mengulang luka lama KSB. Ia menyebut 157 pengusaha lokal di KSB mati suri karena tak memiliki akses terhadap proyek tambang. Di sisi lain, royalti tambang NTB terus merosot—dari Rp443 miliar pada 2022 menjadi Rp408 miliar dan terus turun.

“Kalau tambang berhenti, Pemprov NTB bisa kolaps, artinya ketergantungan sudah terlalu tinggi. Tapi rakyat tak merasakan hasilnya,” tukasnya.

Benny menutup pernyataannya dengan peringatan keras: jika Sumbawa tidak segera memetakan potensi konflik sosial, ekonomi, dan budaya sejak dini, maka sejarah kelam KSB akan terulang.

“Harus ada gagasan yang lebih kuat. Kalau kita terlambat, kita akan habis. Sumbawa belum mampu membergaining. Sudah saatnya kita sadar dan bertindak sebelum semuanya terlambat,” pungkas Benny Tanaya. (LS)