Oleh: Julia Mujahadah Pratiwi
(Mahasiswi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM)
Setiap tanggal 31 Mei di deklarasikan sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Deklarasi ini bukan sekadar peringatan simbolik, tetapi sebuah seruan global untuk meninjau kembali dampak rokok yang bukan hanya pada individu, tetapi juga pada keluarga, masyarakat, bahkan kebijakan negara. Isu ini menjadi semakin penting untuk dibahas, karena di balik kepulan asap rokok, tersembunyi fakta-fakta yang mengejutkan.
Rokok dan Budaya Lelaki
Budaya merokok sering dikaitkan dengan simbol sosial tentang maskulinitas yang dianggap sebagai simbol kejantanan dan kedewasaan. Hal ini diperkuat dengan adanya iklan rokok yang menampilkan citra laki-laki tangguh dan mandiri. Konstruksi sosial ini menganggap laki-laki yang merokok lebih maskulin dan dominan.
Selain itu, adanya budaya lokal di beberapa daerah yang mentolerir kebiasaan merokok sebagai bagian dari interaksi sosial, misalnya saat berkumpul atau menyambut tamu, dengan tidak menyediakan rokok bisa dianggap kurang sopan.
Data yang Tak Bisa Diabaikan
Menurut data Riskesdas 2018, prevalensi perokok laki-laki di Indonesia mencapai 62,9% dan usia pertama kali merokok tertinggi pada usia 15-19 tahun mencapai 52,1%. Di Provinsi NTB sendiri, laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan bahwa kasus penyakit tidak menular (PTM) seperti hipertensi dan penyakit jantung semakin meningkat yang faktor resikonya disebabkan karena gaya hidup, salah satunya perilaku merokok.
Asap Rokok, Asap Kemiskinan
Ironisnya, kebiasaan merokok justru memperparah kemiskinan masyarakat. Banyak kepala keluarga yang rela mengurangi pengeluaran makan atau kebutuhan sekolah anak demi membeli rokok.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2023, pengeluaran masyarakat untuk rokok dan tembakau oleh masyarakat Provinsi Nusa Tenggara Barat menempati urutan ke-3 dan Kabupaten Sumbawa menempati urutan ke-2 pengeluaran kategori makanan setelah pengeluaran untuk makanan dan minuman kemasan.
Rata-rata pengeluaran masyarakat Sumbawa terkait rokok dan tembakau dalam sebulan sebesar 106.703 (7,06%) rupiah dari total pengeluaran masyarakat. Rokok telah menjadi “prioritas pengeluaran”, bahkan di rumah tangga yang kekurangan gizi.
Dampak tak langsungnya pun besar, anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang normalisasi rokok, kesehatan ibu terganggu oleh paparan asap rokok, dan keluarga miskin terjerat dalam siklus pengeluaran tak produktif.
Gerakan Nyata Harus Segera Dimulai
Momentum Hari Tanpa Tembakau Sedunia harus dimanfaatkan untuk mendorong gerakan perubahan dari bawah, terutama di komunitas-komunitas di Sumbawa. Pemerintah daerah, tokoh adat, ulama, dan pemuda bisa berperan besar dalam menggeser norma sosial soal rokok. Lalu, apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah daerah perlu memperkuat kebijakan implementasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di tempat-tempat umum yang tidak hanya berhenti di tataran simbolis, tetapi benar-benar diawasi dan ditegakkan atau bahkan dengan sanksi nyata.
Kedua, sekolah dan tokoh agama perlu dilibatkan untuk mengubah persepsi merokok sebagai simbol kedewasaan. Pendidikan kesehatan harus menyentuh nilai-nilai yang dekat dengan masyarakat Sumbawa, keluarga, adat, dan kehormatan.
Ketiga, pelibatan generasi muda Sumbawa dalam kampanye kreatif di media sosial lokal terkait dengan rokok.
Isu rokok bukan hanya soal hak individu, tetapi juga soal tanggung jawab sosial. Sumbawa dengan kearifan lokalnya memiliki potensi besar menjadi pionir dalam gerakan bebas asap rokok. Merokok memang sudah membudaya, tapi bukan berarti tak bisa diubah. Perubahan memang tak bisa instan, tapi setiap langkah kecil menuju masyarakat yang lebih sehat adalah bentuk cinta kita pada tanah Sumbawa dan masa depan generasi penerusnya.
Referensi:
Dinkes NTB. (2023). Profil Kesehatan Nusa Tenggara Barat 2022. NTB: BPS Nusa Tenggara Barat.
BPS Kabupaten Sumbawa. (2024). Kabupaten Sumbawa Dalam Angka. Sumbawa.
TCSC-IAKMI. (2020). Atlas Tembakau Indonesia 2020. https://media.neliti.com/media/publications/374724-none-786f4d70.pdf.