Mataram, 14 Juli 2025–Liputan khusus oleh wartawan Liputan Sumbawa di Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Mendorong Tata Kelola Tambang Rakyat yang Berkeadilan untuk Koperasi” yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tambang Rakyat pada Senin, 14 Juli 2025, di Hotel Santika Mataram, membahas peluang, kebijakan, regulasi tantangan dan peluang tambang rakyat di NTB, menghasilan sejumlah kesimpulan.
FGD ini menghadirkan berbagai pihak lintas sektor, mulai dari aktivis, LSM, akademisi, jurnalis, DPRD, hingga perwakilan pemerintah daerah.
FGD ini bertujuan untuk mendorong percepatan legalisasi tambang rakyat di NTB melalui skema koperasi sebagai solusi berkeadilan yang menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam.
“Tambang rakyat harus menjadi milik rakyat, bukan dinikmati segelintir kelompok,” tegas Ketua Koalisi Masyarakat Sipil untuk Tambang Rakyat, Fihiruddin.
Dukungan Pemerintah Provinsi NTB
Plt. Kepala Dinas ESDM NTB, Wirawan Ahmad, menyatakan bahwa pemerintah provinsi mendukung penuh upaya legalisasi tambang rakyat melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan penguatan koperasi. Hal ini selaras dengan amanat UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, yang memberikan kewenangan penerbitan IPR kepada pemerintah provinsi.
Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan UMKM NTB, Ahmad Mashuri, menekankan pentingnya membangun koperasi berbasis masyarakat lingkar tambang agar manfaatnya kembali ke warga lokal. Ia juga mengapresiasi keterlibatan aktif Gubernur dan Kapolda NTB dalam mendorong inisiatif ini.
Sejak awal Juli 2025, sebanyak 16 titik tambang rakyat di NTB telah memperoleh IPR dan izin pendirian koperasi, termasuk Koperasi Selonong Bukit Lestari di Sumbawa yang resmi dilegalkan pada 12 Juli 2025.
Ketua Komisi IV DPRD NTB, Hamdan Kasim, menyampaikan dukungannya terhadap penguatan kelembagaan koperasi sebagai pengelola tambang rakyat. Ia menyebut, berdasarkan Kepmen ESDM No. 89 Tahun 2022, terdapat 16 blok Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) di tujuh kabupaten/kota di NTB yang sudah disahkan dan dapat segera dimanfaatkan oleh masyarakat.
Meski demikian, FGD menyoroti masih banyaknya tantangan, termasuk belum rampungnya dokumen pascatambang dan reklamasi yang menjadi prasyarat utama penerbitan IPR secara penuh. Selain itu, terdapat 34 blok WPR lainnya yang masih dalam proses legalisasi dan menunggu perhatian lebih lanjut dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat.
FGD menyepakati bahwa koperasi merupakan instrumen terbaik untuk memastikan pengelolaan tambang rakyat yang legal, adil, dan berkelanjutan. Seluruh peserta sepakat mendorong percepatan legalisasi IPR di seluruh blok WPR NTB, penguatan kelembagaan koperasi tambang rakyat, pengawasan lingkungan dan pemenuhan kewajiban reklamasi, sinergi lintas sektor: masyarakat, pemerintah, DPRD, dan aparat hukum
Koalisi Masyarakat Sipil menegaskan bahwa pendekatan koperasi bukan sekadar legalitas administratif, namun jalan menuju kemandirian ekonomi, perlindungan lingkungan, dan keadilan sosial bagi masyarakat NTB. (LP)