Oleh : M IQBAL MUTHALIB
Tulisan ini bukanlah pembelaan. Bukan pula bentuk kedekatan pribadi. Bahkan, saya tak pernah bertemu langsung dengan Fahri Hamzah . Tak pernah berjabat tangan, apalagi duduk bersisian dalam satu ruangan. Jarak kami masih sangat jauh. Ia tokoh nasional—sementara saya hanyalah rakyat biasa yang mencintai tanah samawa ini.
Namun, dalam jarak itu, ada sesuatu yang tumbuh: kekaguman. Sebuah rasa hormat yang lahir dari jejak perjuangannya, dari nyala pikirannya yang terang, dari sikapnya yang tegas membela nurani rakyat di tengah gelapnya demokrasi. Ia adalah putra Sumbawa, tapi gaungnya menggema di Senayan, hingga dijuluki Macan Parlemen. Ia berbicara bukan hanya dengan suara, tapi dengan keberanian. Ia melawan bukan hanya untuk menang, tapi untuk membangunkan kesadaran bangsa.
Fahri Hamzah, bagi saya, adalah cahaya dari Timur Indonesia yang menembus jantung kekuasaan. Ia tumbuh dari Tana Samawa, dan tak pernah benar-benar meninggalkannya. Dalam diam atau dalam sorot kamera, namanya tetap menjadi bagian dari denyut perjuangan daerah ini.
Maka tulisan ini saya persembahkan bukan untuk membela, tapi untuk mengingatkan kita semua: bahwa kita memiliki tokoh besar. Bahwa kita harus lebih banyak menghargai daripada mencela. Bahwa kontribusi Fahri Hamzah baik untuk Sumbawa, maupun untuk Indonesia adalah warisan semangat yang patut terus kita suarakan. Karena saya, adalah salah satu dari sekian banyak yang percaya: karakter, pikiran, dan perjuangan beliau layak dikenang… dan dilanjutkan.
Belakangan ini, Fahri Hamzah kembali menjadi sasaran kekecewaan publik, khususnya terkait aspirasi pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Provinsi Pulau Sumbawa. Banyak netizen dan sebagian masyarakat menyayangkan sikap beliau yang dianggap tidak lagi konsisten memperjuangkan janji tersebut. Bahkan tak sedikit yang menuduh Fahri hanya mengumbar janji politik dan meninggalkan tanggung jawab moralnya. Tapi mari kita luruskan, jangan biarkan ketidaktahuan mencemari akal sehat dan semangat kebersamaan kita.
Pertama-tama, kita harus melihat ini secara konstitusional dan fungsional. Pembentukan DOB dalam hal ini Provinsi Pulau Sumbawa bukanlah ranah eksekutif murni. Justru yang paling berwenang menyuarakan dan memperjuangkannya secara resmi adalah legislatif, yakni para anggota DPR RI dan DPD yang kini sedang duduk di Senayan. Ini sesuai dengan mekanisme ketatanegaraan kita: inisiasi pemekaran wilayah berasal dari usulan daerah dan pengawalan serius dari wakil-wakil rakyat di DPR RI, bukan semata-mata dari seorang Wakil Menteri. Maka ketika Fahri Hamzah menjawab kepada media, “Jangan hanya tanya saya, tanyakan dan suarakan di legislatif,” itu bukan lari dari tanggung jawab, melainkan mengembalikan urusan kepada jalur dan fungsi yang benar.
Kedua, mari kita jujur: Fahri Hamzah tidak lagi menjadi anggota DPR RI karena tidak cukup suara. Padahal dalam kampanye, beliau mencalonkan diri untuk tetap duduk di parlemen agar bisa punya daya dorong langsung terhadap agenda DOB. Ketika suara tidak cukup, otomatis ruang gerak menjadi terbatas. Maka di sini yang harus kita evaluasi bukan hanya Seorang FH tapi juga kesadaran kolektif kita sebagai masyarakat. Jangan sampai kita menuntut orang yang tidak kita dukung dengan maksimal, sementara mereka yang kini duduk di DPR RI dari Pulau Sumbawa justru aman-aman saja dari kritik dan tuntutan yang sama.
Ketiga, jangan remehkan perjuangan dalam diam. Seorang Fahri Hamzah, yang telah malang melintang di panggung nasional, tak mungkin memutus komitmennya begitu saja terhadap tanah kelahirannya. Ia tahu betul mana yang harus diperjuangkan di depan kamera, dan mana yang harus dituntaskan dalam ruang-ruang diplomasi senyap. Jangan menilai bahwa jika tidak muncul di berita, berarti tidak ada kerja. Justru, itu menunjukkan bahwa beliau tetap menjunjung profesionalisme: tidak mencampuradukkan jabatan eksekutif dengan urusan legislatif.
ketika beliau menjabat sebagai Wakil Menteri, beliau menjawab dengan jujur saat ditanya soal DOB: “Tanyakan ke legislatif.” Dan banyak dari kita menganggap itu sebagai bentuk cuci tangan.
Padahal itu justru bentuk kejujuran. Beliau tidak sedang duduk di kursi DPR yang punya kuasa formal untuk menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi pemekaran wilayah. Bukankah lebih elegan menjawab sesuai fungsi dan aturan, daripada menggiring harapan palsu di luar wewenangnya? Kita sering bilang ingin pemimpin yang jujur. Tapi saat kejujuran itu hadir, kenapa kita justru mencaci?
Saya percaya, perjuangan tidak selalu harus diumumkan di podium. Ada perjuangan dalam diam. Ada upaya di balik meja, di ruang-ruang rapat yang tidak diliput kamera. Kita tak tahu apa yang sedang ia kerjakan. Tapi satu hal pasti, tidak mungkin seorang Fahri Hamzah, putra asli Sumbawa, melupakan tanah kelahirannya sendiri.
Jadi, sebelum kita menuding, mari melihat ke dalam diri. Sudahkah kita benar-benar memahami? Sudahkah kita memberi dukungan yang layak? Atau jangan-jangan, kita hanya menonton dari jauh, lalu sibuk menuntut, sambil lupa bahwa perjuangan bukan hanya tanggung jawab satu orang—tapi tanggung jawab kita semua.
Fahri Hamzah bukan malaikat. Ia bisa salah. Tapi menuduhnya berkhianat atau menipu rakyat adalah bentuk ketidakadilan publik yang lahir dari ketidaktahuan proses. Beliau tetap seorang pejuang. Ia adalah putra asli Sumbawa, yang tidak mungkin menghapus ingatannya tentang janji, sejarah, dan tanah darahnya sendiri. Kita hanya perlu satu hal: bersikap adil. Jangan hanya karena kecewa, kita kehilangan akal sehat. Bila ingin DOB Provinsi Pulau Sumbawa benar-benar terwujud, maka mari bergandengan tangan: masyarakat, kepala daerah, DPRD, dan terutama para legislator kita di Senayan.
Dan tentang Fahri Hamzah? Yakinlah, ia tetap ada di sana. Mungkin tidak selalu terlihat, tapi selalu bekerja. Sebab, pejuang sejati tak pernah kehilangan arah—ia hanya sedang menunggu waktu yang tepat.