Sumbawa Besar, 10 Juni 2025– Isu produktivitas lahan, ketersediaan air, dan krisis lingkungan menjadi sorotan utama dalam presentasi yang disampaikan oleh Julmansyah, Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat, Direktorat Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan, dalam forum Musrenbang RPJMD Kabupaten Sumbawa Tahun 2025–2029 dan RKPD Tahun 2026, yang digelar di Sumbawa Besar, Selasa 10 Juni 2025.
Julmansyah menyampaikan catatan kritis terhadap substansi RPJMD Kabupaten Sumbawa, khususnya pada aspek pengelolaan hutan, lahan, dan lingkungan hidup.
Ia menekankan bahwa RPJMD harus menjadi “resep yang benar untuk penyakit yang tepat,” artinya perencanaan pembangunan harus berdasarkan pada diagnosa permasalahan yang akurat, terutama menyangkut penurunan produktivitas lahan dan potensi krisis air yang mengancam wilayah Sumbawa.
Lahan Sebagai Aset dan Basis Penghidupan
LJulmansyah mengangkat cara pandang budaya Tau Samawa terhadap lahan, yang bukan sekadar tanah kosong, melainkan bagian penting dari sistem penghidupan: “Balong Ai Kayu, Mole Pade Antap, Telas Kebo Jaran.” Lahan diposisikan sebagai aset dan basis kesejahteraan, namun kini mengalami penyempitan, degradasi, dan penurunan fungsi ekologis.

Ia menyebut bahwa lebih dari 51% daratan Sumbawa berada dalam potensi krisis air, menurut SK MENLHK No. 973 Tahun 2024.
Hal ini diperparah oleh penurunan debit air bendungan, pola tanam yang berubah, serta ekspansi pertanian monokultur, khususnya jagung, di kemiringan lahan lebih dari 15 derajat.
Krisis Air dan Solusi Kebun Campur (Agroforestry)
Julmansyah menawarkan solusi melalui pendekatan agroforestry (kebun campur) sebagai alternatif pola tanam yang lebih ramah lingkungan dan tahan terhadap krisis iklim. Pola ini mengintegrasikan tanaman musiman dan tahunan seperti durian, avokad, kopi, dan kemiri, yang selain memiliki nilai ekonomi, juga meningkatkan infiltrasi air tanah dan memperkuat ketahanan pangan.
Model keberhasilan kebun campur telah diterapkan di kawasan Wanagiri, Kecamatan Utan, yang sejak tahun 1989 berhasil mengelola sumber daya air dengan pendekatan partisipatif.
“Pola tanam ini harus didorong di seluruh wilayah lahan kering dan kawasan hutan Sumbawa sebagai respons terhadap kerusakan DAS dan krisis air,” tegasnya.
Perlu Kolaborasi dan Inovasi Pembiayaan
Julmansyah menyoroti keterbatasan kapasitas fiskal daerah dan perlunya solusi kreatif serta kolaboratif. Ia menyarankan pembiayaan alternatif melalui program Integrated Area Development (IAD), pelibatan sektor swasta, serta pengembangan jasa lingkungan berbasis insentif bagi masyarakat.
“RPJMD ini adalah janji politik yang harus diwujudkan dengan data, inovasi, dan kolaborasi. Lahan adalah basis penghidupan, dan jika dikelola dengan bijak, maka air akan tersedia, hasil pertanian meningkat, dan kesejahteraan masyarakat akan tercapai,” ujar Julmansyah. (LP)