Sumbawa 8 Desember— Sidang praperadilan terkait legalitas tindakan aparat dalam perkara Ai Jati kembali memanas. Salah satu kuasa hukum Aliansi Advokat Pejuang Ai Jati, Iwan Haryanto, S.H., M.H, melontarkan kritik keras terhadap langkah termohon yang menghadirkan saksi yang dinilai tidak relevan dengan objek perkara yang diperiksa.
Iwan menegaskan bahwa meskipun secara prosedural sidang telah berjalan sesuai hukum acara dan hakim tunggal memberikan kesempatan kepada termohon untuk menghadirkan saksi, namun kualitas saksi yang dibawa sama sekali tidak memenuhi standar relevansi pembuktian praperadilan.
“Objek praperadilan itu jelas dan terbatas: SPDP, penetapan penangkapan, penahanan, dan penetapan tersangka. Tapi saksi yang dihadirkan tidak mengetahui apa pun terkait empat objek tersebut. Ini sama sekali tidak menyentuh substansi yang sedang diuji,” tegas Iwan usai persidangan, Senin 8 Desember 2025 di pengadilan negeri Sumbawa Besar.
Dalam persidangan, saksi yang dihadirkan termohon, AIPDA I Gusti Bagus Yogi Anggara, Anggota Polres Sumbawa, memberikan keterangan yang dinilai kabur dan tidak berkaitan dengan pokok permohonan.
Saksi menyatakan dirinya melaporkan dugaan penganiayaan saat pengamanan eksekusi lahan di Ai Jati. Namun saksi mengaku tidak mengetahui siapa yang melakukan penganiayaan terhadap dirinya. Ia hanya menyampaikan bahwa dirinya dianiaya tanpa dapat menjelaskan identitas pelakunya.
Lebih jauh, saksi I Gusti mengakui bahwa sejak laporan dibuat hingga proses penyelidikan dan penyidikan berlangsung, ia tidak pernah menerima SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan). Padahal, sesuai Perkap 06 Tahun 2019, SPDP wajib diberikan kepada pelapor dan pihak terkait sebagai bagian dari mekanisme pemberitahuan resmi.
Ketiadaan SPDP tersebut membuat saksi tidak mengetahui perkembangan perkaranya. Karena itu, saksi juga tidak memahami proses penangkapan, penahanan, maupun penetapan tersangka terhadap Bintang Imran Maulana Sarkasi.
“Bagaimana mungkin keterangan saksi seperti ini dianggap relevan? Ia tidak tahu pelaku, tidak pernah menerima SPDP, dan tidak mengetahui proses hukum. Ini jelas tidak bisa dipakai untuk menjawab objek praperadilan,” kata Iwan.
Menurut Iwan, ketidaktepatan saksi ini menunjukkan ketidaksiapan termohon menghadapi persidangan praperadilan. Ia menegaskan bahwa praperadilan bukan forum untuk menghadirkan keterangan umum, melainkan ruang khusus untuk menguji legalitas tindakan aparat.
“Kalau saksi yang dihadirkan saja tidak punya kapasitas berbicara tentang SPDP, penangkapan, penahanan, apalagi penetapan tersangka, lalu apa nilai pembuktiannya? Ini bukti bahwa termohon tidak siap bahkan untuk menjawab pokok permohonan,” tegasnya.
Iwan berharap sidang selanjutnya dapat berjalan lebih terarah dan seluruh pihak berpegang pada koridor hukum acara, terutama terkait batasan objek praperadilan.
“Persidangan ini seharusnya fokus pada legalitas, bukan cerita di luar konteks. Kami berharap pembuktian berikutnya lebih substantif,” pungkasnya.
Sidang praperadilan akan dilanjutkan sesuai agenda yang ditetapkan Pengadilan Negeri Sumbawa. (LS)






























































