Oleh ; M IQBAL MUTHALIB
Eks. Ketua Panwaslu Moyo Utara
Dengan lahirnya sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi ruang pemisahan dari pada penyelenggaraan Pemilu baik pada nasional ( Presiden dan Wakil Presiden, DPD, dan DPR RI ) dan daerah ( DPR Prov. DPRD, Bupati ) akan dimulai tahun 2029 menandai wajah baru dalam demokrasi elektoral Indonesia. Implikasi dari putusan ini bukan hanya teknis, akan tetapi menyangkut masa jabatan para pejabat publik, termasuk anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Secara konteks, ada banyak argumentasi dan dan pertanyaan fundamental:
Apakah perpanjangan masa jabatan DPRD bertentangan dengan UUD 1945?
1. Secara Konstitusionalitas:
Tidak Bertentangan Selama Diatur dalam UU
UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit masa jabatan terkhusus DPRD. Pada pasal 18 hanya menyebut bahwasannya daerah memiliki DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah, tetapi tidak menyebut batas waktu jabatannya. Hal Ini tentu berbeda dengan DPR RI (pusat) yang disebut secara tegas menjabat selama 5 tahun (Pasal 19 ayat 1).
Kemudian dapat dimaknai dalam hal ini, aturan teknis masa jabatan DPRD diserahkan kepada undang-undang, yaitu UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, jika masa jabatan DPRD diperpanjang sebagai bagian dari masa transisi sistem pemilu nasional dan daerah yang baru, hal itu tidak serta-merta melanggar konstitusi pasca lahirnya Putusan MK ini.
2. Asas Kepastian Hukum dan Legitimasi Demokratis
Perpanjangan masa jabatan harus disertai dengan alasan yang masuk akal, seperti: Penyesuaian dengan jadwal pemilu baru hasil putusan MK. Pencegahan kekosongan jabatan atau pengangkatan pejabat sementara yang lebih demokratis. Efisiensi anggaran dan penghindaran pemilu serentak yang terlalu padat.
Namun, perpanjangan ini harus bersifat sementara dan segera diatur secara eksplisit dalam UU, agar tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum (Pasal 28D UUD 1945) dan prinsip kedaulatan rakyat.
3. Preseden Hukum: Penyesuaian Jabatan Boleh dan Pernah Terjadi Indonesia memiliki preseden:
Penundaan Pilkada 2020 karena adanya pandemi, sehingga mengakibatkan perpanjangan jabatan beberapa kepala daerah diindonesia, apakah DPR juga ? DPRD tidak mengalami perpanjangan langsung, tapi mengalami keterbatasan ruang kerja, karena pembahasan APBD dan pengawasan dilakukan secara daring atau terbatas. Hubungan kerja dengan Pj Kepala Daerah bersifat sementara, sehingga proses legislasi dan perencanaan kurang optimal. Lantas mari kita lihat skemanya ;
4. Potensi Jabatan DPRD diperpanjang ;
jawabanya Kemungkinan Besar diperpanjang DPRD menjabat lebih dari 5 tahun (mungkin 6,5–7 tahun), hanya dilakukan sekali sebagai masa transisi akibat perubahan desain pemilu antara nasional-daerah. Mengapa Pilihan perpanjang masa jabatan ini paling potensi dan ideal ? DPRD hasil Pemilu 2024 menjabat periode pendek (hanya 5 tahun atau kurang). Pemilihan DPRD ulang akan dilakukan serentak dengan Pilkada 2031. Artinya, akan ada dua pemilu DPRD dalam 7 tahun: 2024 dan 2031. Konsekuensi; Lebih demokratis, karena sesuai dengan periode 5 tahunan. Tapi biayanya besar, dan bisa membingungkan publik. Ada risiko overlap dengan pelaksanaan pemilu nasional 2029, karena jedanya terlalu dekat.
UU Pilkada 2015 memungkinkan pengisian jabatan oleh pejabat sementara hingga pemilu dilaksanakan serentak. Dengan analogi ini, perpanjangan masa jabatan DPRD bukan hal baru, dan bisa diterima sepanjang memenuhi syarat transisi yang rasional, terbatas, dan demokratis.
Saya berpandangan bahwa perpanjangan masa jabatan DPRD tidak bertentangan dengan UUD 1945, asalkan diatur dalam undang-undang dan bersifat khusus serta terbatas untuk kepentingan penyesuaian jadwal pemilu nasional dan daerah.
Legislator dan pemerintah perlu segera menyusun revisi UU Pemilu dan Pilkada untuk mengatur masa transisi ini dengan prinsip: Konstitusional Demokratis Akuntabel. Jelas batas waktunya Dengan begitu, semangat putusan MK untuk menyederhanakan beban pemilih dan meningkatkan kualitas demokrasi lokal tidak kehilangan legitimasi di mata rakyat.