Oleh: Gentar Alam, Ketua Sumbawa Green Action
Pada tahun 2003, luas hutan di Kabupaten Sumbawa tercatat mencapai 514.191,91 hektare. Angka itu setara dengan hampir separuh wilayah kabupaten ini dan 50 persen dari total kawasan hutan di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Namun, pertanyaan besar kini muncul: apakah hutan Sumbawa masih akan tersisa di tahun 2025?
Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Deforestasi besar-besaran terus terjadi, terutama akibat ekspansi industri pertambangan. Dunia tengah sibuk membicarakan climate change akibat industrialisasi dan efek rumah kaca, juga soal environmental etik karena deforestasi. Tetapi di Sumbawa, isu yang sama justru dipinggirkan oleh pemerintah daerah yang sibuk membuka karpet merah untuk investor.
Padahal, data global menunjukkan betapa gentingnya situasi. Setiap jam, hutan seluas 300 lapangan sepak bola hilang ditebang. Jika tren ini berlanjut, pada tahun 2030 bumi mungkin hanya menyisakan 10% hutannya. Tanpa intervensi, hutan dunia bisa lenyap dalam kurang dari satu abad.
Indonesia, bersama Brasil dan Republik Demokratik Kongo, termasuk negara dengan tingkat deforestasi tertinggi. Amazon—hutan hujan terbesar di dunia dengan tiga juta spesies tumbuhan dan hewan—pun tidak luput dari kerusakan.
Tiga Raksasa Tambang di Sumbawa Selatan
Alih-alih belajar dari fakta global, Pemerintah Kabupaten Sumbawa justru terus mengumbar jargon welcome to investor. Ironisnya, di balik investasi yang disebut-sebut untuk meningkatkan pendapatan daerah, kerugian ekologis justru ditanggung masyarakat.
- PT. AMNT
Perusahaan ini beroperasi di Desa Tua Lawin dan Labangkar. Lebih dari sekadar merusak lingkungan, aktivitas tambang bahkan dilakukan di atas makam leluhur warga setempat. Deforestasi terjadi, budaya dan adat istiadat pun terkikis.
Pertanyaannya: di mana pemerintah Sumbawa? Mereka seakan menutup mata terhadap kerusakan yang nyata.
- PT. Sumbawa Jutaraya (SJR)
Dengan IUP seluas 8.687 hektare, SJR beroperasi di Kecamatan Ropang. Namun, hingga kini masyarakat belum merasakan manfaat berarti. Sebaliknya, ribuan pohon ditebang, satwa kehilangan ekosistem, dan warga kehilangan mata pencaharian tradisional.
Anehnya, pemerintah berdalih soal “hutan lindung” ketika masyarakat menuntut akses jalan. Dalih itu terdengar rapuh ketika dihadapkan pada kenyataan: hutan justru dihancurkan untuk kepentingan investor.
- PT. Intam
Perusahaan ini memegang IUP seluas 18.500 hektare di Kecamatan Lantung, Ropang, dan Lenangguar. Meski baru tahap studi kelayakan, rekam jejaknya sudah penuh tanda tanya: tidak ada sosialisasi AMDAL, tidak transparan dalam rekrutmen tenaga kerja, dan sistem kerja yang jauh dari layak.
Kelak, ketika masyarakat menolak keberadaan PT. Intam, di situlah akan teruji: berpihak pada rakyat atau pada investor?
Kerugian Sosial yang Nyata
Apa yang ditinggalkan tambang bukan kesejahteraan, melainkan luka sosial. Kita bisa melihatnya langsung:
Anak-anak yang putus sekolah. Para ayah yang kehilangan pekerjaan. Para ibu yang harus menanggung beban ekonomi sendirian.
Lalu, apa yang sebenarnya masuk ke kas daerah dari sektor pertambangan? Apakah benar ada manfaat signifikan? Atau jangan-jangan hanya simbolis, yang ujung-ujungnya masuk ke kantong segelintir orang?
Pemerintah yang Abai
Masyarakat Sumbawa sudah terbukti bisa bertahan hidup tanpa investor—asal bumi dan hutannya tetap lestari. Namun, dengan deforestasi yang kian mengganas, kita harus berani berkata tegas: Pemerintah Sumbawa tidak memahami Environmental Etik.