Oleh : Muhazi Ramadhan (Ketua Lakpesdam PCNU Sumbawa)
Klaim keberhasilan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumbawa yang mencatat penurunan angka kemiskinan dari 12,87% menjadi 11,79% pada Maret 2025 memang layak diapresiasi. Angka tersebut tidak sekadar statistik, tetapi cerminan dari kerja keras lintas sektor—mulai dari peningkatan pendapatan warga, perluasan akses bantuan sosial, hingga kebijakan pemberdayaan ekonomi. Namun, capaian ini juga mengandung paradoks serius. Pada saat publik masih merayakan keberhasilan tersebut, temuan “Zona Merah” harga beras di November 2025 menjadi tanda bahaya bahwa pondasi kesejahteraan masyarakat Sumbawa masih rapuh dan belum kokoh secara struktural.
1. Kegagalan Menjaga “Benteng” Kesejahteraan
Dalam analisis kemiskinan, dua faktor menjadi benteng utama kesejahteraan: pendapatan yang meningkat dan harga pangan yang stabil. Pemda Sumbawa sebelumnya menjadikan stabilitas harga sebagai bukti keberhasilan menjaga keseimbangan ekonomi rakyat. Namun, lonjakan harga beras di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) pada November 2025 menandakan benteng itu mulai runtuh.
Beras tidak hanya sekadar bahan pangan pokok, tetapi juga indikator paling sensitif terhadap garis kemiskinan. Dalam metodologi Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi beras terhadap Garis Kemiskinan Makanan mencapai proporsi terbesar. Ketika harga beras naik tajam, garis kemiskinan ikut terdorong naik, sementara daya beli masyarakat—terutama kelompok rentan—tergerus.
Kondisi ini memperlihatkan risiko “churning”, yaitu perputaran cepat antara status miskin dan tidak miskin. Ribuan rumah tangga yang sempat keluar dari garis kemiskinan berpotensi kembali terperosok akibat tekanan inflasi pangan. Dengan kata lain, penurunan kemiskinan yang tidak diimbangi stabilitas harga hanyalah keberhasilan sesaat yang mudah terhapus oleh satu gelombang kenaikan harga beras.
2. Tantangan Pertanggungjawaban Pemimpin Baru
Pemerintahan daerah yang relatif baru di Sumbawa tentu ingin menunjukkan hasil cepat melalui efektivitas program dan optimalisasi bantuan sosial. Namun, kejadian lonjakan harga beras menguji kapasitas kepemimpinan ini dalam aspek tata kelola dan antisipasi krisis.
Langkah sidak oleh Satgas Pangan Provinsi dan Polda menggambarkan bahwa respons pemerintah lebih bersifat reaktif daripada proaktif. Padahal, sistem pengawasan harga yang baik seharusnya berbasis data real-time dan mampu mendeteksi gejala kelangkaan maupun spekulasi pasar jauh sebelum mencapai tahap “darurat”.
Selain itu, orientasi program daerah juga perlu ditinjau ulang. Fokus pada peningkatan produksi UMKM atau pertanian tidak akan optimal jika keuntungan usaha hanya tersedot untuk menutupi kebutuhan pokok yang makin mahal. Ini menunjukkan ketimpangan antara kebijakan peningkatan pendapatan dan kebijakan pengendalian pengeluaran.
3. Rekomendasi untuk Keberlanjutan
Agar keberhasilan penurunan kemiskinan tidak berhenti pada angka statistik, Pemda Sumbawa perlu menempuh langkah-langkah strategis yang berkelanjutan:
• Pembaruan Data Cepat: Gunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan indikator harga pangan harian sebagai sistem peringatan dini. Ukur keberhasilan bukan per semester, tetapi per minggu—melalui kemampuan menjaga stabilitas pengeluaran rumah tangga.
• Penguatan Rantai Pasok Lokal: Pemda harus berinvestasi pada ketahanan pangan berbasis desa. Ini mencakup pengelolaan cadangan beras lokal, subsidi distribusi dari sentra produksi ke pasar, dan insentif bagi kelompok tani untuk menjaga pasokan di wilayah sendiri.
• Sinergi Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID): Pengentasan kemiskinan dan pengendalian inflasi harus berjalan seiring. TPID perlu diperkuat dengan integrasi lintas sektor—Dinas Perdagangan, Pertanian, dan Sosial—serta kolaborasi dengan BUMDes sebagai simpul distribusi pangan di tingkat akar rumput.
Kesimpulan
Penurunan angka kemiskinan di Sumbawa adalah capaian yang patut disyukuri, tetapi kenaikan harga beras adalah peringatan keras bahwa fondasi keberhasilan itu belum sepenuhnya kuat. Ke depan, ukuran tanggung jawab pemerintah tidak cukup dengan menampilkan data penurunan persentase, melainkan dengan memastikan bahwa masyarakat tidak kembali jatuh miskin akibat fluktuasi harga pangan.
Dengan demikian, ujian sejati keberhasilan Pemda Sumbawa bukan pada data masa lalu, melainkan pada kemampuan menjaga stabilitas harga dan ketahanan pangan saat ini serta di masa depan. Karena kesejahteraan sejati tidak diukur dari angka kemiskinan yang menurun sesaat, tetapi dari kemampuan masyarakat bertahan ketika harga-harga naik.




























































