Single News

Internet Gratis : Pemicu Pendapatan Desa dan Pencegah Urbanisasi

Oleh: Ridwan Apriansyah*, Dr. Burhanuddin**
*Mahasiswa Program Magister Sains Agribisnis FEM IPB University,
**Ketua Departemen Agribisnis dan Dosen Program Magister Sains Agribisnis FEM IPB University.

Urbanisasi telah menjadi fenomena dominan dalam pembangunan Indonesia. Menurut, data Badan Pusat Statistis (2023), mayoritas penduduk yang bermigrasi dari desa ke kota berada dalam kelompok usia produktif. Ini adalah kelompok usia dengan energi kerja, kapasitas belajar, dan potensi kewirausahaan tinggi.

Adanya urbanisasi, karena kota dianggap lebih banyak menawarkan peluang kerja yang lebih layak, pendidikan yang berkualitas, fasilitas yang memadai, dan pelayanan. Urbanisasi memang sepenuhnya tidak negatif, namun ketika terjadi secara tak terkendali, fenomena ini menimbulkan persoalan struktural baik dikota maupun di desa.

Kota menjadi padat dan rentan terhadap masalah sosial serta lingkungan seperti kemacatan, pengangguran, pemukiman kumuh, hinggah kriminalitas. Sementara itu, desa justru mengalami kekosongan tenaga produktif, stagnasi ekonomi, dan ketertinggalan dalam pembangunan.

Fenomena ini bukan hanya mencerminkan pergerakan fisik manusia, tetapi juga menjadi cermin dari ketimpangan pertumbuhan ekonomi
Salah satu akar masalah yang menyumbang pada fenomena tersebut adalah ketimpangan akses terhadap informasi dan teknologi. Ketika kota berkembang pesat dalam ekosistem digital dengan infrastruktur internet berkecepatan tinggi dan teknologi digital yang meresap ke berbagai aspek kehidupan, sedangkan desa masih terkendala dengan sinyal yang lemah, perangkat yang terbatas, biaya langganan yang mahal, dan bahkan belum memiliki jaringan internet yang layak.

Ketika konektivitas menjadi simbol kemajuan, setiap desa yang tertinggal menjadi terpinggir dari arus kemajuan digital nasional. Padahal, dalam era ekonomi digital, internet bukan sekadar alat hibuburan dan komunikasi semata, melainkan jembatan menuju kesempatan peningkatan ekonomi, sosial, dan edukatif.
Di tengah era perkembangan transformasi digital saat ini, internet telah menjadi infrastruktur esensial yang setara pentingnya dengan listrik air bersih, dan jalan raya.

Ketika internet gratis tersedia di desa, maka dapat menjadi instrumen strategis untuk mendorong produktivitas, membuka peluang baru, memperluas akses edukasi, dan informasi, yang selama ini menjadi alasan utama masyarakat desa bermigrasi ke kota. Tanpa internet, masyarakat desa akan kesulitan untuk berpartisipasi dalam ekonomi digital, terbatas dalam mengakses pendidikan berkualitas, dan tertinggal dalam menikmati pelayanan publik yang berbasis teknologi.

Dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif, penyediaan internet gratis di desa merupakan kebutuhan strategis, bukan sekadar fasilitas pelengkap. Jika internet di kota sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, maka masyarakat desa pun berhak mendapatkan akses yang sama. Internet gratis harus dimaknai sebagai hak dasar warga desa, bukan sebagai barang mewah atau proyek tambahan. Akses internet yang merata dan gratis dapat menjembatani kesenjangan digital antarwilayah, membuka peluang usaha baru, serta memperkuat hubungan sosial di tengah tantangan zaman. Ketika internet tersedia dan dapat diakses secara gratis selama 24 jam di desa, berbagai potensi lokal yang selama ini tersembunyi dapat berkembang secara optimal. Petani dapat mengakses informasi harga pasar, prakiraan cuaca, dan inovasi pertanian dari gawai mereka. Pelaku usaha kecil menengah dapat memasarkan produk ke pasar nasional bahkan global melalui platform e-commerce.

Generasi muda desa bisa mengikuti pelatihan daring, membangun usaha berbasis digital, atau bekerja secara remote sebagai freelancer. Bahkan sektor pariwisata desa dapat dikelola secara modern dengan strategi promosi digital yang menjangkau wisatawan dari luar daerah.
Internet gratis juga akan menciptakan ekosistem digital desa yang partisipatif. Pemerintahan desa dapat memanfaatkan teknologi untuk administrasi yang transparan dan efisien. Kegiatan pendidikan dan kesehatan berbasis digital seperti sekolah daring dan layanan telemedicine menjadi mungkin dilakukan di wilayah pedesaan. Dalam konteks ini, internet menjadi fondasi bagi terbangunnya desa yang mampu mengelola potensi dan tantangannya secara mandiri, kolaboratif, dan berbasis data. Tak hanya itu, internet juga mendorong partisipasi warga dalam pengambilan keputusan publik di tingkat lokal. Misalnya, musyawarah desa yang dilaksanakan secara daring, pelaporan kondisi infrastruktur, dan pengawasan anggaran pembangunan yang lebih terbuka. Ini adalah wujud demokratisasi informasi yang menguatkan akuntabilitas dan partisipasi warga desa.

Keberhasilan pemanfaatan internet di desa bukanlah wacana semata. Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, menjadi contoh nyata bagaimana teknologi digital mengubah wajah ekonomi dan sosial desa. Dengan memanfaatkan internet sebagai sarana promosi dan pemasaran, Desa Ponggok berhasil mengembangkan wisata air Umbul Ponggok hingga dikenal luas melalui media sosial dan situs resmi desa. Usaha-usaha lokal seperti kuliner, penginapan, dan kerajinan tumbuh pesat karena didukung strategi pemasaran digital yang efektif.

Menurut studi Wiryono (2019), desa ini mampu mengurangi ketergantungan pada urbanisasi dan membangun ekonomi dari dalam komunitasnya sendiri melalui pemanfaatan internet untuk mempromosikan wisata dan pengembangan UMKM. Ini adalah contoh sekaligus bukti bahwa jika internet dimaknai sebagai hak dasar warga desa, bukan sekadar fasilitas teknologi, maka pembangunan desa dapat berjalan setara, mandiri dan berkelanjutan.

Perlu diketahui, pemerataan akses internet di desa masih menghadapi tantangan yang tidak ringan. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan anggaran desa, belum meratanya infrastruktur jaringan, serta belum memadainya kapasitas sumber daya manusia dalam memanfaatkan teknologi digital secara produktif. Di beberapa wilayah terpencil, jaringan internet masih bergantung pada sinyal satelit yang mahal dan lambat. Bahkan ada desa yang belum terjangkau listrik secara stabil, yang membuat akses digital menjadi nyaris mustahil. Oleh karena itu, dibutuhkan intervensi kebijakan yang lebih progresif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Program internet desa tidak cukup jika hanya menjadi proyek pembangunan fisik. Ia harus dipahami sebagai bagian dari strategi nasional untuk menjembatani ketimpangan digital. Pemerintah pusat melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah meluncurkan program “Desa Digital” dan “Bakti Kominfo” untuk membangun BTS serta penyediaan akses internet di wilayah tertinggal.

Namun, upaya ini perlu diperkuat dengan sinergi bersama pemerintah daerah, pemanfaatan Dana Desa yang lebih berpihak pada transformasi digital, serta pelibatan sektor swasta, perguruan tinggi, dan komunitas lokal.
Strategi penyediaan internet gratis di desa seharusnya menjadi bagian dari desain besar transformasi ekonomi nasional. Pembangunan tidak boleh lagi tersentral di kota-kota besar. Desa-desa harus menjadi pilar utama dalam rantai ekonomi nasional yang tangguh. Dalam konteks tersebut, internet adalah pengungkit transformasi desa menjadi simpul ekonomi baru. Pemerintah daerah dapat menetapkan peraturan daerah yang mendukung penguatan konektivitas digital, termasuk memberikan insentif bagi penyedia jasa internet (ISP) yang berinvestasi di pedesaan.

Di sisi lain, desa dapat membentuk unit usaha milik desa (BUMDes) yang fokus pada layanan internet publik, sehingga masyarakat dapat menikmati akses secara murah atau gratis, sementara desa tetap memperoleh sumber pendapatan baru.
Internet gratis di desa harus dipandang sebagai investasi sosial jangka panjang. Ia menjadi fondasi bagi pembangunan SDM digital, kewirausahaan digital, dan tata kelola pemerintahan desa yang lebih transparan dan adaptif. Bahkan dalam konteks yang lebih luas, internet bisa menjadi alat strategis untuk menahan laju urbanisasi dengan menyediakan alternatif kehidupan yang layak dan menjanjikan di desa. Jika kota tumbuh karena konektivitas dan informasi, maka desa pun berhak mendapatkan akses yang sama. Ketika desa terkoneksi, potensi lokal menemukan jalannya. Ketika desa menjadi cerdas, ketimpangan pun bisa dikikis. Dan ketika internet hadir sebagai hak dasar, bukan fasilitas mewah, maka pembangunan nasional menjadi lebih adil dan berkelanjutan.
Indonesia memiliki lebih dari 84.000 desa, dengan karakteristik dan potensi yang sangat beragam. Setiap desa menyimpan peluang untuk tumbuh sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal, laboratorium inovasi sosial, serta penggerak ekonomi berbasis komunitas. Namun semua potensi ini hanya akan menjadi angan-angan apabila desa terus dibiarkan tertinggal dari konektivitas digital.

Maka, jika pemerintah sungguh-sungguh ingin menahan laju urbanisasi, membangun ekonomi dari pinggiran, dan mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang inklusif, langkah awal yang harus dipastikan adalah setiap desa harus terhubung ke internet. Gratis, merata, dan berkelanjutan. Internet di desa bukan hanya persoalan akses, tetapi menjadi kunci untuk membuka masa depan desa yang berdaya, mandiri, dan sejahtera.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Migrasi Nasional. Jakarta: BPS.
Wiryono, R. (2019). “Digitalisasi dan Kebangkitan Ekonomi Desa: Studi Kasus Desa Ponggok, Klaten”. Jurnal Pembangunan Daerah, 4(2), 112-125.